Connect with us

    Umum

    Maraknya Alih Fungsi Lahan, ARCM Pertanyakan Lahan Abadi

    Published

    on

    CIREBON, CIAYUMAJAKUNING.ID – Maraknya praktek alih fungsi lahan menjadi kavling pemukiman, membuat Aliansi Rakyat Cirebon Menggugat (ARCM) khawatir jika lahan pertanian berubah menjadi pemukiman. Hingga akhirnya, akan terjadi krisis pangan di Kabupaten Cirebon yang selama ini dikenal sebagai salah satu daerah produsen besar beras.

    Juru Bicara ARCM, Kherudinsyah menuturkan bila permasalahan mengenai perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Cirebon saat ini menjadi masalah yang harus sangat dikritisi keberadaannya.

    Pasalnya, kawasan lahan pertanian semakin hari semakin berkurang terlebih lagi dengan adanya rencana dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat yang menetapkan Kawasan Segitiga Rebana di wilayah timur Jawa Barat yang salah satunya Kabupaten Cirebon.

    “Ini menjadi ancaman terhadap keberadaan lahan pertanian pangan berkelanjutan, ketika lahan pertanian semakin berkurang maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi krisis pangan di wilayah Kabupaten Cirebon,” tegas Kaherudinsyah, Selasa (23/2/2021).

    Hal yang paling disoroti oleh pihaknya, fenomena jual beli lahan pertanian di Kabupaten Cirebon sangat marak terjadi yang sulap menjadi kavling pemukiman.

    Advertisement

    “Kami yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Cirebon Menggugat (ARCM) yang terdiri dari DPP Ampar, DPC Projo Kabupaten Cirebon dan DPC Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Cirebon, akan terus konsisten mengawal agar lahan pertanian pangan berkelanjutan yang saat ini belum jelas titiknya,” ungkap Khaerudinsyah.

    Terlebih lagi sambung dia, keberadaan lahan abadi yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon seluas 40 ribu hektar. Namun pihaknya sangat menyayangkan masih banyak pengusaha kavling untuk pemukiman melakukan kegiatannya.

    “Padahal jelas-jelas kegiatan tersebut ilegal, tapi kok Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon cenderung kurang tegas untuk menyelesaikan permasalahan tersebut,” ucap Khaerudinsyah.

    Dirinya juga menjelaskan, saat ini para pengusaha kavling pemukiman mulai mensiasati kegiatan usahanya tersebut dengan menempuh perijinan untuk pengembangan kawasan perumahan dengan menggunakan lahan yang sudah dijual belikan untuk kavling pemukiman.

    “Kami ngambil salah satu contoh tepatnya di wilayah Kecamatan Jamblang, padahal lahan tersebut sangat produktif untuk pertanian karena di lokasi tersebut bisa panen padi sampai 3 kali dalam satu tahun. Tapi sayangnya dikonfirmasi kepada Dinas Pertanian lahan yang akan dijadikan lokasi kawasan perumahan tersebut memang benar peruntukannya untuk kawasan pemukiman sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2018-2038,” jelas khaerudinsyah.

    Advertisement

    Maka dari itu, ARCM mempertanyakan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2018-2038. Lebih lanjut dirinya mengatakan, dalam penyusunan sebuah peraturan daerah harus mempertimbangkan serta memperhatikan kajian tidak hanya dari sudut pandang yuridis melainkan juga sudut pandang sosiologis dan filosofis.

    “Kami menduga dalam penyusunan Perda RTRW tersebut kurang memperhatikan kajian secara sosiologis dan filosofis, karena jelas di wilayah yang akan dijadikan Kawasan perumahan tersebut merupakan lahan pertanian pangan yang sangat produktif,” kata Khaerudinsyah.

    Maka dari itu, pihaknya akan mengumpulkan data serta fakta untuk menggugat untuk membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2018-2038. Karena pihaknya menilai jika poin-poin dalam peraturan itu kurang memperhatikan kajian secara sosiologis ataupun filosofis.

    “Perda RTRW tersebut diduga terlalu banyak menguntungkan para kapitalis dibandingkan menguntungkan para petani. Selain itu pula dalam penetapannya pun diduga terlalu tergesa-gesa karena ditandatangani oleh Plt Bupati, padahal Plt Bupati tidak bisa melakukan penetapan sebuah Perda yang bersifat strategis,” tutup Kaherudinsyah.

    Advertisement
    Continue Reading

    Yang Lagi Trend