CIAYUMAJAKUNING.ID – Arus mudik 2023 segera tiba. Umat Muslim di Indonesia akan menjalani tradisi pulang ke kampung halamannya. Islam memberikan keringanan bagi mereka yang sedang bepergian jauh (musafir) untuk tidak berpuasa.
Lalu bagaimana hukum orang yang pergi dengan tujuan jarak jauh, namun berangkatnya dari rumah setelah subuh?
Di lansir dari NU Online, ada dua kriteria rukhshah (keringanan) bagi umat muslim untuk tidak berpuasa, yakni, berjarak 88,749 km dan sudah meninggalkan rumah sebelum subuh.
Hal ini penting supaya orang yang berpuasa tersebut tidak menyandang dua status sekaligus yakni, status sebagai orang yang ada di rumah dan bepergian pada siang hari.
Jika ada orang yang melakukan hal tersebut, maka statusnya sebagai musafir tidak penuh.
Hal ini akan berdampak bahwa ia tidak boleh membatalkan puasa walaupun perginya sangat jauh di hari itu juga.
Demikian menurut Imam Nawawi:
ومن أصبح في الحضر صائما ثم سافر لم يجز له ان يفطر في ذلك اليوم
Artinya: “Barangsiapa yang memasuki waktu subuh masih di rumah dalam keadaan berpuasa, baru kemudian pergi, maka ia tidak boleh membatalkan puasanya pada hari itu.” (Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Darul Fikr], juz 6, halaman 260).
Berbeda pendapat dengan Al-Muzani, ia mengatakan bahwa orang yang pergi jauh di siang hari, di tengah perjalanan, ia boleh membatalkan puasanya.
Logikanya seperti orang yang sedang sakit. Orang yang paginya sehat lalu di tengah hari mendadak sakit, boleh membatalkan puasa.
وقال المزني له أن يفطر كما لو أصبح الصحيح صائما ثم مرض فله أن يفطر
Artinya: “Al-Muzani berkata ‘Bagi orang yang pergi setelah subuh boleh membatalkan puasa sebagaimana orang yang masuk pada waktu subuh dalam keadaan sehat, kemudian mendadak sakit, boleh membatalkan puasa.”
Sementara ulama Mazhab Syafi’i berpendapat hal itu tidak boleh membatalkan puasa.
Argumentasinya, kasus orang sakit dengan orang pergi berbeda. Kecuali jika ada orang pergi lalu sakit, hukumnya adalah hukum orang sakit.
والمذهب الأول والدليل عليه انه عبادة تختلف بالسفر والحضر فإذا بدأ بها في الحضر ثم سافر لم يثبت له رخصة السفر كما لو
دخل في الصلاة في الحضر ثم سافر في اثنائها ويخالف المريض فان ذلك مضطر الي الافطار والمسافر مختار
Artinya: “Yang menjadi acuan serapan mazhab adalah yang pertama. Argumentasinya bahwa ibadah bisa berbeda sebab pergi dan di rumah. Apabila dimulai dari rumah kemudian pergi, maka tidak mendapatkan dispensasi bepergian sebagaimana orang yang shalat di rumah lalu pergi di tengah-tengah waktu shalat itu, hukumnya tidak mendapatkan rukhshah. Berbeda dengan orang yang sakit. Orang yang sakit memang terdesak atau darurat untuk membatalkan puasa sedangkan orang yang pergi itu opsional, bisa memilih.”
Dari keterangan tersebut, dapat di tarik kesimpulan bahwa pendapat kuat orang yang pergi setelah memasuki waktu subuh adalah tidak di perkenankan meninggalkan puasa.
Jika perginya lebih dari dua hari, maka hari kedua dan seterusnya baru boleh meninggalkan puasa.
Apabila hari ketiga pulang ke rumah setelah dzuhur sedangkan ia tidak puasa sejak pagi karena pergi, ia tetap wajib imsak (menahan makan minum) hingga waktu maghrib. ***
Wallahualam bishowab