CIAYUMAJAKUNING.ID – Guna mempercepat implementasi Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Kepulauan Aru, Maluku, Papua Study Center (PSC) menggelar refleksi penyelesaian konflik agraria struktural.
Merespon terbitnya Perda tersebut, peneliti dari PSC Eko Cahyono menilai penting untuk mempercepat implementasinya.
“Perda pengakuan ini upaya menghalau laju bisnis ekstraktif yang makin masif di Kepulauan Aru,” katanya di Jakarta sesuai rilis yang di terima Ciayumajakuning.id, Rabu (05/07).
Tetapi Perda tersebut, lanjutnya, setidaknya menjadi dasar hukum bagi masyarakat ada dan hak-hak agrarianya.
“Sebab, sekarang telah ada pengakuan legal negara atas masyarakat adat di Kepulauan Aru, ini satu hal penting,” imbuh Eko.
Ia menilai Pemda-lah yang mempunyai peran kunci dalam implementasi Perda ini.
Menurut Eko, Pemda perlu segera membentuk tim verifikasi masyarakat hukum adat yang mengakomodir semua pihak berikut bantuan anggarannya.
Ketidakadilan berlapis di alami Masyarakat Adat Kepulauan Aru selama berpuluh-puluh tahun atas nama Kepentingan Nasional dan proyek pembangunan.
Proyek pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi minus pemerataan keadilan atas sumber agraria telah mengabaikan eksistensi Masyarakat Adat Aru.
Secara nyata, pembangunan ini justru mendegradasi kehidupan masyarakat adat Aru karena hanya mengedepankan logika eksploitasi, ekstraksi dan komodifikasi SDA.
Berbagai konsesi menyasar masuk ke kawasan hutan Kepulauan Aru dengan berbagai rencana pembangunan yang mengancam eksistensi alam dan masyarakat adat Kepulauan Aru.
Menurut Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), kebijakan ini membuat masalah agraria belum selesai akar sehingga terus membuka peluang masuknya investasi.
“Akarnya adalah kebijakan kawasan hutan di Kep. Aru yang seperti tinggal melempar karet gelang saja dalam menentukan kawasan hutan produksi konversi dan konservasi,” sambungnya.
Sementara itu, Mercy C. Barends anggota DPR RI Dapil Maluku mempermasalahkan berlarut-larutnya landasan hukum pengakuan masyarakat adat.
“Butuh political will yang kuat dan lebih berpihak pada kelompok masyarakat terpinggirkan, khususnya di Indonesia Timur,” ucapnya.
Selain itu, sambungnya, kebijakan pembangunan nasional mesti lebih peka keragaman lokalitas bukan mengulang penyeragaman model lama.
Sehingga kebijakan pembangunan, khususnya di Kepulauan Aru mesti memahami sejarah dan watak masyarakatnya.
“Masyarakat Kepulauan Aru berwatak nomaden laut dengan sejarah panjang tenurial antar pulau,” demikian ujar Mercy. ***