Connect with us

Umum

Tunjangan Perumahan DPRD Indramayu Diduga Dikorupsi, Benarkah?

Published

on

Indramayu – Belanja tunjangan perumahan DPRD Kabupaten Indramayu Tahun Anggaran 2022 diduga dikorupsi. Saat ini, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar sedang menyelidiki dugaan tersebut.

Kasi Penkum Kejati Jabar, Nur Sricahyawijaya membernarkan penyelidikan terkait dugaan tindak pidana korupsi. Hal itu merupakan tindak lanjut dari laporan keuangan Pemkab Indramayu.

“Benar, Kejati Jabar sedang melakukan pemeriksaan terkait hal itu,” kata Sricahyawijaya, Kamis (15/5/2025).

Saat ini, Kejati Jabar sedang mengumpulkan data-data sebagaimana laporan pengaduan yang disampaikan. Bahkan, Kejati Jabar sudah memanggil beberapa saksi, tetapi Sricahyawijaya belum merincikannya.

“Informasinya sudah ada enam orang yang dimintai keterangannya. Tapi untuk siapa saja mereka, belum bisa kami ungkapkan,” ujarnya.

Advertisement

Saat disinggung dugaan keterlibatan mantan Ketua DPRD Indramayu, Sricahyawijaya masih irit bicara.

“Nanti saja ya. Mungkin nanti perkembangannya akan dirilis,” ujarnya.

Ada Banyak Pihak Termasuk Wakil Bupati Indramayu Diduga Terlibat

Sementara itu, Gerakan Pemuda Peduli Perubahan Indramayu (PPPI) menyebut, dugaan kasus korupsi ini terjadi ketika H. Syaefudin menjadi Ketua DPRD Indramayu periode 2019-2024. Namun, saat ini yang bersangkutan menjadi Wakil Bupati Indramayu.

Ketua DPRD Indramayu saat itu, diduga menyetujui besaran tunjangan tanpa kajian sah. Bahkan, Syaefudin diduga menerima langsung manfaat dari kebijakan itu, serta tidak menjalankan fungsi pengawasan secara semestinya.

Advertisement

Selain itu, pihak lain yang diduga terlibat yaitu Sekretaris Dewan (Sekwan) selaku pejabat pengguna anggaran yang menyusun usulan dan memproses pencairan dana.

Kemudian, Tim Penilai Internal (UPB/TAPD) yang menetapkan besaran tunjangan tanpa wewenang profesional dan legalitas resmi.

Selanjutnya, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) yang memproses dan mencairkan dana tanpa verifikasi memadai terhadap dasar hukum dan dokumen.

Lalu, kepala daerah/bupati, apabila turut menandatangani atau menyetujui penetapan tunjangan yang tidak sah.

BPK Temukan Kejanggalan

Advertisement

Belanja Rp 16,8 miliar

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan, dalam laporan hasil pemeriksaan BPK RI, ditemukan adanya kejanggalan dalam proses pemberian tunjangan perumahan bagi pimpinan dan anggota DPRD Indramayu.

Pemeriksaan tersebut mengungkap perhitungan tunjangan dilakukan dengan prosedur yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan, tanpa dasar hukum yang sah, serta tidak memenuhi prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.

Gerakan PPPI menyebut, belanja tunjangan perumahan pimpinan dan anggota DPRD Indramayu ini mencapai Rp 16,8 miliar untuk setahun di 2022.

Adapun rinciannya yaitu, ketua DPRD Rp 40 juta per bulan atau sekitar Rp 480 juta per tahun, wakil ketua Rp 35 juta per bulan atau Rp 420 juta per tahun, sedangkan untuk anggota dewan Rp 30 juta per bulan atau Rp 360 juta per tahun.

Advertisement

Apabila dijumlahkan dan ditambah gaji, biaya transportasi dan biaya reses, rata-rata pendapatan dewan berkisar dari Rp 60 juta sampai dengan Rp 80 juta per bulan, atau berkisar Rp 700 juta per tahun sampai dengan menyentuh angka Rp 1 miliar pertahun.

Jika diasumsikan dari pendapatan pos untuk tunjangan perumahan dan ditambah gaji bulanan, maka anggota legeslatif tersebut bisa beli rumah setiap tahunnya di perumahan elit Pesona Estate yang berada dijantung kota dengan harga kisaran antara Rp 500 juta-700 juta per unit.

PPPI menilai belanja tunjangan perumahan tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.

Dalam laporan pengaduan, PPPI merujuk pada fakta yang diperolehnya, menduga terjadi pelanggaran terhadap sejumlah pasal dalam peraturan perundang-undangan dalam belanja tunjangan perumahan DPRD Indramayu. Mulai dari Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3, Pasal 8 UU Tipikor dan Pasal 263 KUHP Penggunaan dokumen atau surat tidak sah dalam pencairan anggaran negara.

PPPI juga mengungkap beberapa poin utama yang menjadi dasar laporan kepada Kejati Jabar. Pertama, penetapan nilai tunjangan dilakukan oleh tim internal yang tidak memiliki legalitas sebagai Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), sebagaimana diwajibkan oleh ketentuan.

Advertisement

Kemudian formula perhitungan yang digunakan mengacu pada regulasi yang sudah dicabut, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang sah.

Poin ketiga, tidak dilakukan survei harga sewa rumah dan tanah secara objektif sesuai dengan kondisi pasar di wilayah Kabupaten Indramayu.

Sementara poin keempat, tim penilai yang digunakan tidak memiliki kompetensi teknis dan kewenangan profesional untuk menetapkan standar biaya tunjangan rumah pejabat publik.

Continue Reading

Yang Lagi Trend