HIMKI Tolak Ekspor Kayu Bulat, Abdul Sobur: Ini Soal Masa Depan 2,1 Juta Keluarga Indonesia

0
42
Ketua umum HIMKI Abdul Sobur. (Ciayumajakuning.id)

CIAYUMAJAKUNING.ID: Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengingatkan pemerintah agar tidak gegabah dalam mempertimbangkan relaksasi ekspor kayu bulat (log) dan kayu gergajian.

Dalam sambutannya pada Musyawarah Daerah (Musda) II DPD HIMKI Cirebon Raya, Sobur menegaskan bahwa kebijakan tersebut berpotensi mengancam masa depan industri furnitur nasional yang kini menjadi salah satu penopang ekonomi kreatif Indonesia.

Sobur memaparkan bahwa selama lebih dari empat dekade, Cirebon dan Jepara telah menjadi pusat hilirisasi kayu yang melahirkan produk bernilai tinggi.

Bukan hanya industri, kedua daerah ini menjadi laboratorium sosial-ekonomi yang berhasil mengubah ekonomi berbasis bahan mentah menjadi ekonomi berbasis nilai tambah.

“Dari tangan maestro kriya, kayu Indonesia menjelma menjadi furnitur kelas dunia. Hilirisasi bukan teori, tetapi realitas yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja dan menghasilkan devisa besar bagi negara,” ujarnya, Selasa (25/11/2025).

Sobur menilai wacana relaksasi ekspor bahan mentah melalui Focus Group Discussion pemerintah harus menjadi perhatian serius.

Menurutnya, ekspor log berpotensi mengganggu pasokan bahan baku, menaikkan harga kayu, dan memicu deindustrialisasi dini.

“Kita pernah belajar dari masa lalu. Hutan habis, nilai tambah justru dinikmati negara lain. Jika ekspor log dibuka lagi, Indonesia hanya mengulang kesalahan lama,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa nilai kayu bulat hanya berkisar US$150–200 per m³, sementara produk furnitur Indonesia bisa mencapai US$2.000–5.000 per m³.

“Mendorong ekspor log berarti memilih keuntungan jangka pendek sambil mengorbankan masa depan industri nasional,” kata Sobur.

Sobur menyinggung keberhasilan Vietnam yang melarang ekspor log sejak 1992 dan kini menembus nilai ekspor furnitur sebesar US$17 miliar, jauh melampaui Indonesia.

“Vietnam besar bukan karena menjual kayu, tapi karena mengolahnya,” ujarnya.

HIMKI menilai relaksasi ekspor log bertentangan dengan amanat UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, yang mengharuskan negara menyediakan bahan baku industri dalam negeri, memperkuat nilai tambah, dan membatasi ekspor bahan mentah yang mengancam pasokan industri.

“Membuka ekspor kayu bulat sama artinya melemahkan pondasi hilirisasi nasional,” kata Sobur.

Dalam forum Musda, HIMKI menyampaikan tiga rekomendasi kebijakan berbasis teknis dan konsolidatif:

1. Menolak relaksasi ekspor kayu bulat dan kayu gergajian

2. Mendorong kebijakan reduksi diameter kayu sebagai instrumen pengendalian yang lebih terukur

3. Memperkuat integrasi hulu–hilir berbasis tata kelola dan efisiensi logistik, bukan menjual bahan mentah

“Solusi bukan membuka keran ekspor log, tetapi memastikan kayu berkualitas tinggi mengalir ke industri dalam negeri,” jelas Sobur.

“Bangsa Besar Tidak Diingat karena Mengekspor Batang Kayu,” katanya.

Sobur menutup sambutannya dengan pesan kuat tentang martabat ekonomi bangsa.

“Bangsa besar tidak diingat karena mengekspor batang kayu—tetapi karena mengekspor karya,” tegasnya.

Ia menegaskan bahwa hilirisasi adalah jalan menuju kemandirian ekonomi, bukan sekadar pilihan kebijakan.

“Kita tidak sedang memperdebatkan kayu, tetapi masa depan 2,1 juta keluarga Indonesia,” tutupnya.