Connect with us

Ekbis

MATA UANG PALING MAHAL ADALAH KEPERCAYAAN: KISAH YOHANES HENGKY MENEMBUS KRISIS TANPA MODAL

Published

on

Di tengah fluktuasi harga material, krisis ekonomi, dan klien yang silih berganti, ada satu hal yang terus jadi pegangan Yohanes Hengky selama lebih dari dua dekade di dunia kontraktor: kepercayaan.
Bukan uang, bukan alat berat, bukan koneksi elit, tetapi kepercayaan yang ditanam dari proyek ke proyek, klien ke klien, tahun ke tahun.

Tidak Pernah Bercita-cita Jadi Kontraktor

Lucunya, pria yang akrab dipanggil Hengky ini tidak pernah bercita-cita jadi kontraktor. Ia masuk jurusan arsitektur karena saran sang ayah yang seorang insinyur teknik sipil.

Dari sang ayah pula ia mendapat pelajaran pertama untuk membarengi skill gambar/draftingnya dengan pengetahuan konstruksi juga. Hengky mengambil saran ini dengan menyelami dunia pembangunan sembari berkuliah.

Hengky membayar kuliahnya sendiri dari proyek desain dan dekorasi. Dari awal, Hengky terbiasa berdiri dengan kaki sendiri. Dan justru karena itulah, dunia lapangan jadi guru yang paling jujur.

Membesarkan Bisnis Tanpa Iklan

Berbeda dari bisnis lain yang gencar promosi, bisnis kontraktor Hengky tumbuh lewat satu strategi sederhana: rekomendasi.

Advertisement

Ia membangun satu rumah dengan sepenuh hati, klien puas, lalu kenalkan ke saudara atau kenalan. Begitu seterusnya. Tak ada baliho, tak ada billboard. Yang ada hanya reputasi.

“Kontraktor itu jual jasa. Dan satu-satunya ‘mata uang’ yang kita miliki sebenarnya adalah kepercayaan dari klien,” terangnya dalam wawancara dokumenter bersama Sekali Seumur Hidup.

Itulah mengapa, sejak proyek gereja tanpa modal di tahun 2002, hingga pembangunan kostel dan rumah-rumah mewah, Hengky tidak pernah benar-benar ‘bermodal’. Yang ia bawa ke meja negosiasi bukan uang, tapi rekam jejak dan komitmen.

Dihantam Krisis, Diuji Prinsip

Tahun 2006 jadi momen ujian. Krisis moneter menghantam. Harga material naik tiap minggu. Beberapa kontrak yang telah disepakati, tak lagi menguntungkan. Hengky rugi besar. Tiga mobil, rumah, dan tanah lepas semua untuk menutup kekurangan.

“Gali lubang tutup lubang. Semua aset saya lepas untuk menyelamatkan proyek dan nama baik,” ceritanya.

Advertisement

Namun dari krisis itulah lahir kebijaksanaan. Ia menyusun RAB dengan lebih hati-hati. Ia belajar pentingnya menyisakan buffer. Tapi yang paling utama: ia tidak lari dari kesalahan. Dari sana, ia justru belajar banyak hal sebagai bekal bisnis di kemudian hari.

Ia tetap menyelesaikan proyek dan tetap menjaga komunikasi. Dan justru dari komitmennya tersebut, klien datang lagi membawa proyek yang lebih besar.

Kontraktor Bukan “Cuma” Tukang Bangun

Hengky paham, menjadi kontraktor hari ini tak cukup hanya bisa bangun rumah. Ia harus jadi mitra. Ia harus bisa menjawab kebutuhan klien dari hulu ke hilir mulai dari desain, material, tukang, hingga pengawasan.

Ia membangun relasi dengan vendor, memperluas jaringan ke arsitek, broker, pengembang. Bukan sekadar tukang bangun, tapi penyedia solusi konstruksi.

“Yang dijual bukan sekadar bangunan. Tapi rasa aman. Kepastian. Komitmen bahwa proyek akan selesai dengan baik,” kata Hengky menjelaskan komitmen bisnisnya.

Advertisement

Mata Uang Itu Adalah “Percaya”

Hari ini, Hengky dipercaya mengelola proyek bernilai miliaran dari developer. Bukan karena ia punya modal besar. Tapi karena ia telah menabung kepercayaan selama bertahun-tahun.

Kepercayaan itu seperti tabungan yang tak terlihat. Tapi saat dunia dilanda krisis, saat uang menghilang, tabungan kepercayaanlah yang menyelamatkan bisnis.

Ia menutup dengan satu prinsip yang selalu ia ulang:

“Saya mungkin tidak punya modal besar. Tapi saya ingin selalu dikenal sebagai mitra pembangunan yang bisa dipercaya,” pungkasnya.

Dan dari prinsip itu, jalan-jalan baru terus terbuka. Sebab pada akhirnya, ketika uang habis, yang tetap bernilai adalah nama baik yang dibangun dari kerja jujur dan tanggung jawab.

Advertisement

Artikel ini juga tayang di VRITIMES

Continue Reading

Yang Lagi Trend