Connect with us

    Ekbis

    Produksi Garam di Cirebon Menurun Hingga Ratusan Ribu Ton

    Published

    on

    Ciayumajakuning.id

    CIAYUMAJAKUNING.ID – Kabupaten Cirebon yang menjadi wilayah produsen garam terbesar di Indonesia, sudah tiga tahun ini mengalami penurunan produksi yang sangat drastis. Jika dikalkulasi penurunan produksi itu mencapai ratusan ribu ton dibandingkan musim kemarau empat tahun lalu.

    Berdasarkan data dari Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Kabupaten Cirebon, luas lahan garam di Kabupaten Cirebon yang diolah sebanyak 1.557,75 hektare dari potensi lahan yang ada seluas 3.140,00 hektare.

    Adapun rincian lahan garam yang telah diolah para petambak garam di Kabupaten Cirebon ini tersebar di berbagai kecamatan. Yakni di Kecamatan Pangenan dengan luas lahan garam 800 hektare yang berada di Desa Ender, Pangenan, Bendungan, Rawaurip, Pengarengan, dan Astanamukti.

    Di Kecamatan Kapetakan seluas 288 hektare berada di Desa Bungko dan Bungko Lor. Kemudian di Kecamatan Gebang seluas 136 hektare berada di Desa Gebangmekar, Melakasari, Gebangilir, Gebang Kulon, dan Kalipasung. Di Kecamatan Suranenggala ada seluas 120 hektare yang berada di Desa Suranenggala Lor dan Muara.

    Selanjutnya di Kecamatan Losari ada seluas 109,65 hektare berada di Desa Ambulu, Kalisari, Tawangsari, dan Kalirahayu. Di Kecamatan Astanajapura seluas 62 hektare berada di Desa Kanci dan Kanci Kulon. Kecamatan Mundu seluas 41,30 hektare berada di Desa Citemu dan Waruduwur. Dan di Kecamatan Gunungjati seluas 0,80 hektare berada di Desa Jatimerta.

    Advertisement

    Dari luasan lahan tersebut, Kabupaten Cirebon dalam kondisi cuaca kemarau yang normal mampu menghasilkan ratusan ribu ton dalam satu musim. Namun, produksi garam itu tidak berlaku di tiga musim kemarau terakhir.

    Menurut Kepala Bidang (Kabid) Perikanan dan Tangkap DKPP Kabupaten Cirebon, Moh. Jamaludin, berdasarkan catatan pihaknya terkait data program usaha garam rakyat yang ada dari 2019-2021 terus mengalami penurunan.

    “Kalau di 2019 kondisi kemaraunya normal itu di kita mampu memproduksi sebanyak 136.686,78 ton. Tetapi di 2020 sampai sekarang mengalami penurunan yang sangat signifikan,” kata Jamal, Rabu (24/8/2022).

    Yakni lanjut dia, di 2020 produksi garam di Kabupaten Cirebon hanya 2.663,78 ton. Kemudian di 2021 kembali mengalami penurunan karena hanya menghasilkan 1.203,5 ton saja. Begitu juga di 2022 ini, yang biasanya di bulan Agustus tengah panen raya garam, tetapi sekarang belum banyak yang panen.

    “Penyebab penurunan produksi dari tahun ke tahun ini, pertama karena 2020 hingga 2021 kita tahu sendiri ada pandemi Covid-19 dan kondisi alam tidak menentu. Dan 2022 karena menurut BMKG tahun ini kemarau basah dan banjir rob gila-gilaan,” ungkap Jamal.

    Advertisement

    Bahkan, kata dia, berdasarkan prediksi BMKG terkait hidrologi ini masih akan banyak terjadi selama 2022.

    “Ini cukup berpengaruh besar terhadap produksi garam. Sehingga banyak yang gagal panen,” ungkapnya.

    Di musim kemarau 2022 ini, DKPP pun sudah sering turun ke lapangan, untuk mendata jumlah produksi garam rakyat di beberapa kecamatan. Namun masih dalam proses kombinasi berapa jumlah produksi garam di tahun ini yang seharusnya sudah panen raya garam.

    Sehingga, pihaknya belum bisa menyajikan data pasti produksi garam tahun sekarang.

    “Tapi kemungkinan turun lagi. Sebab ya tadi banyak lahan yang terendam rob, juga cuacanya tidak menentu karena masuk kategori kemarau basah,” ungkap Jamal.

    Advertisement

    Ia menjelaskan, kewenangan DKPP Kabupaten Cirebon lebih kepada pembinaan bagi para petambak garam. Serta mengusulkan ke pemerintah pusat maupun provinsi untuk meningkatkan produktivitas garam. Seperti mengusulkan agar dibangunnya tanggul-tanggul yang tinggi di sepanjang bibir pantai untuk meminimalisir banjir rob.

    “Kedua kita juga meminta ke pusat untuk dibuatkan teknologi baru. Contohnya pipanisasi pengambilan air laut dari tengah laut masuk ke lahan petambak garam. Karena dengan pipanisasi ini kandungan NaCl pada garam akan lebih tinggi. Dibandingkan dengan air laut yang diambil dari bibir pantai,” katanya.

    Sebab, yang diambil dari tengah laut adalah murni air laut, tidak tercampur oleh air sungai yang tawar.

    “Dan kalau airnya bukan dari tengah laut kan membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai matang jadi garam,” kata Jamal.

    Selain itu, pihaknya juga tengah melakukan gerakan sebagai bentuk daya dukung dan kepedulian kepada para petambak garam di daerah ini. Salah satunya berencana membuat payung hukum berupa Perda agar perusahaan wajib menyerap garam lokal. Termasuk juga PNS diwajibkan membeli garam.

    Advertisement

    “Itu rencana kita. Kita bentuk Perda. Kita akan coba. Informasi Indag juga salah satu daerah di luar Jawa, mereka menggerakkan PNS-nya untuk membeli garam rakyat. Kita juga akan melakukannya. Sebagai bentuk kepedulian terhadap produk lokal,” ujarnya.

    Sementara itu, salah seorang petambak garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Moh. Yusuf membenarkan di tahun ini sangat sulit mengolah lahan garam untuk bisa sampai produksi. Ia harus kembali dari nol ketika banjir rob menghantam lahan garamnya.

    Ditambah lagi, hujan masih sering turun di musim kemarau. Sehingga, ia bersama petambak garam lainnya merasa kesulitan untuk menghasilkan garam demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.

    “Kalau dihitung-hitung ya penghasilan garam tiga tahun terakhir selalu menurun. Tapi yang terparah di tahun ini,” ujarnya. ***

    Advertisement
    Continue Reading

    Yang Lagi Trend