Connect with us

Umum

Menyibak Estetika Nisan Islam Nusantara dan Spirit Ketuhanan Syattariyah dalam BWCF 2025 di Cirebon

Published

on

CIAYUMAJAKUNING.ID Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ke-14 tahun 2025 akan menjadi panggung bagi refleksi mendalam tentang jejak spiritual dan estetika Islam Nusantara.

Bertempat di Kraton Kacirebonan, festival ini mengangkat tema “Estetika Nisan-nisan Islam Nusantara dan Dunia Ketuhanan Tarekat Syattariyah di Cirebon”, sekaligus menjadi penghormatan bagi arkeolog besar Indonesia, almarhum Prof. Dr. Uka Tjandrasasmita.

“Melalui nisan, kita tidak hanya membaca penanda kematian, tetapi juga teks-teks kebudayaan dan teologi yang menyingkap relasi manusia dengan Tuhan,” ujar Dr. Helene Njoto, sejarawan seni dan arsitektur asal Prancis yang akan membawakan Pidato Kebudayaan BWCF 2025.

Nisan-nisan di Nusantara selama ini menjadi artefak penting bagi studi arkeologi Islam. Bentuk, aksara, dan ornamen pada nisan bukan sekadar dekorasi, melainkan bahasa simbolik yang menggambarkan spiritualitas dan pertemuan budaya.

Dari Kesultanan Aceh hingga ke pelosok Asia Tenggara, tipologi nisan lokal memperlihatkan dinamika penyebaran Islam dan jejaring maritim masa lampau.

Advertisement

BWCF 2025 menggandeng Majelis Seni dan Tradisi Cirebon (MESTI), Perhimpunan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI), serta didukung oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon.

Festival ini ingin mempertemukan para ahli dari dalam dan luar negeri untuk membedah makna-makna ketuhanan yang terpatri di batu nisan dan manuskrip klasik.

“Pada nisan, kita menemukan keindahan sekaligus kebijaksanaan,” kata Prof. Dr. Daniel Perret, arkeolog asal Prancis yang dikenal melalui penelitian nisan kuno Aceh dan pengaruhnya di Malaysia.

Ia menilai, estetika nisan Nusantara mencerminkan sintesis antara spiritualitas Islam dan budaya lokal yang kaya simbolisme.

Pemilihan Cirebon sebagai tuan rumah bukan tanpa alasan. Kota ini menyimpan jejak panjang Islamisasi di Jawa, sekaligus pusat perkembangan tarekat Syattariyah—sebuah ordo tasawuf yang menekankan jalan cepat menuju makrifatullah.

Advertisement

Ajaran ini berkembang di India abad ke-15 dan menyebar ke Asia Tenggara satu abad kemudian, termasuk ke kraton-kraton Cirebon.

Baik Kasepuhan, Kanoman, maupun Kacirebonan memiliki koleksi manuskrip kuno tentang ajaran Syattariyah, termasuk konsep Martabat Tujuh. Namun, hingga kini, kajian ilmiah terhadap manuskrip tersebut masih terbatas.

“Syattariyah di Cirebon bukan sekadar ajaran mistik, tetapi juga sumber inspirasi perlawanan terhadap kolonialisme,” ujar Prof. Dr. Peter Carey, sejarawan yang akan mengulas bagaimana semangat Syattariyah mempengaruhi tokoh perlawanan seperti Pangeran Diponegoro.

Seperti tradisi BWCF sebelumnya, festival ini juga menghadirkan dimensi sastra dan seni pertunjukan. Dalam Malam Puisi untuk Palestina, sejumlah penyair Indonesia seperti Zawawi Imron, Acep Zamzam Noer, Nenden Lilis, dan Hikmat Gumelar akan membacakan karya-karya bertema spiritualitas Islam dan kemanusiaan.

Sorotan istimewa hadir dari Dr. Samah Sabawi, penyair dan dramawan diaspora Palestina yang kini bermukim di Melbourne, Australia. Melalui karyanya seperti Tales of a City by the Sea dan I Remember My Name, Samah menghadirkan suara kemanusiaan yang melintasi batas geografi dan luka perang.

Advertisement

“Kehadiran Samah di Cirebon menjadi jembatan antara spiritualitas Islam Nusantara dan perjuangan kemanusiaan Palestina,” kata Gunawan Maryanto, kurator BWCF.

“Ia membawa pesan bahwa perlawanan tertinggi adalah mencari kedamaian dalam hati,” sambungnya.

BWCF tahun ini juga menjadi bentuk penghormatan terhadap Prof. Dr. Uka Tjandrasasmita (1934–2010), pelopor studi arkeologi Islam di Indonesia. Karyanya, Arkeologi Islam Nusantara, hingga kini menjadi rujukan utama bagi para peneliti dan sejarawan.

Uka dikenal sebagai arkeolog yang menempatkan peninggalan Islam—seperti nisan, masjid tua, dan kota pelabuhan—sebagai situs akademis yang layak diteliti.

Ia memetakan jalur penyebaran Islam melalui bentuk dan ornamen nisan, membuka kesadaran bahwa Islam Nusantara tumbuh dalam dialog dengan budaya Gujarat, Bengal, hingga Cina.

Advertisement

Dalam malam pembukaan BWCF 2025, Dr. Helene Njoto akan menyampaikan pidato kebudayaan berjudul “Membaca Kembali Sendang Duwur dan Masjid-Masjid Kuno Nusantara”. Ia akan menafsir ulang penelitian Uka mengenai situs Sendang Duwur, Lamongan—sebuah masjid purbakala yang menjadi bukti pertemuan arsitektur Hindu-Jawa dan Islam awal.

Continue Reading
Advertisement

Yang Lagi Trend