Connect with us

    Sosok

    Ajip Rosidi, Sastrawan Asal Majalengka Dapat Bintang Kehormatan dari Presiden

    Published

    on

    CIAYUMAJAKUNING.ID – Dilahirkan 31 Januari 1938 di Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Ajip Rosidi dikenal sebagai sastrawan, budayawan, dosen, redaktur penerbit serta pendiri dan Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage.

    Saat berusia dua tahun, kedua orang tuanya berpisah sehingga ia diasuh oleh neneknya (dari pihak ibu), lalu dilanjutkan pamannya (dari pihak bapak) yang bermukim di Jakarta. Kehidupan Ajip yang sangat sederhana bahkan boleh dibilang kurang jadi cambuk untuk memperbaiki kehidupannya.

    Ia sukses mengembangkan kariernya di bidang sastra, baik sastra Indonesia maupun sastra Sunda serta di bidang penerbitan dan pengetahuan bahasa Indonesia.

    Saat berusia tujuh belas tahun, Ajip menikah dengan Patimah. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai enam orang anak.

    Dikutip dari laman Kemendikbud, ia mengawali pendidikan di Jatiwangi lalu melanjutkannya ke SMP di Majalengka, Bandung dan Jakarta.

    Advertisement

    Selanjutnya Ajip menempuh pendidikan SMA di Jakarta dengan berpindah-pindah dan tidak mengikuti ujian akhir SMA. Hal itu sengaja dilakukannya karena ia ingin membuktikan bahwa tanpa ijazah pun orang dapat hidup.

    Sejak kelas enam SD dia sudah menulis hingga dimuat di surat kabar Indonesia Raya. Saat Ajip berusia 14 tahun, karyanya dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia, Siasat, Gelanggang, dan Keboedajaan Indonesia.

    Ia menulis puisi, cerita pendek, novel, drama, terjemahan, saduran, kritik, esai, dan buku, baik dalam bahasa daerah maupun bahasa Indonesia. Karyanya ditulis pada periode 1953-1960 dan HB Jassin menggolongkannya ke dalam kelompok Angkatan 66.

    Pada usia  15 tahun, Ajip Rosidi menjadi pengasuh majalah Soeloleh Peladja lalu di usia 17 tahun ia menjadi redaktur majalah Prosa.

    Tahun 1964-1970 ia menjadi redaktur penerbit Tjupumanik, redaktur Budaya Jawa (1968-1979), menjabat Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Sunda dan memimpin penelitian pantun dan folklore Sunda (1966-1975).

    Advertisement

    Tahun 1967 Ajip menjadi dosen di Universitas Padjajaran, menjabat direktur Penerbit Duta Rakyat (1965-1968) dan memimpin Penerbit Dunia Pustaka Jaya (1971-1981).

    Di tahun 1973—1979 ia juga memimpin Ikatan Penerbit Indonesia, Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1973—1981) dan bahkan pernah menjadi anggota staf ahli Mendikbud (1978—1980).

    Ajip Rosidi dam Nani Wijaya ijab kabul di Masjid Agung Kasepuhan Cirebon. (fb Chye Retty Isnendes)

    Ajip lalu mengembangkan ilmu pengetahuannya di Jepang (1980) dan diangkat sebagai guru besar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa-Bahasa Asing Osaka), guru besar luar biasa di Kyoto Sangyo Daigaku (Universitas Industri Kyoto), Tenri Daigaku (Universitas Tenri) dan Osaka Gaidai (Osaka university of Foreign Studies).

    Sejak tahun 1989, ia memberikan Hadiah Sastra Rancage kepada sastrawan atau budayawan daerah yang berjasa dalam bidang sastra dan budaya daerah, khususnya Sunda dan Jawa. Bersama beberapa sastrawan dan budayawan Sunda, Ajip sukses menyusun Ensiklopedi Kebudayaan Sunda (2001).

    Berikut Karya-karya Ajip Rosidi:

    a. Kumpulan Puisi
    Ketemu di Djalan bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan (Balai Pustaka, 1956), Pesta (Pembangunan, 1956), Tjari Muatan (Balai Pustaka, 1959), Surat Tjinta Endaj Rasidin (Pembangunan, 1960), Djeram (Gunung Agung, 1970), Ular dan Kabut (Pustaka Jaya, 1973), Sajak-sajak Anak Matahari (Pustaka Jaya, 1979) serta Nama dan Makna (Pustaka Jaya, 1988).

    Advertisement

    b. Kumpulan Cerita Pendek
    Ditengah Keluarga (Balai Pustaka, 1956), Tahoen-tahoen Kematian (Gunung Agung, 1951), Pertemuan Kembali (Bukittinggi: Nusantara, 1962), Sebuah Rumah Buat Hari Tua (Pembangunan, 1957).

    c. Novel
    Perjalanan Pengantin (Pembangunan, 1958), Anak Tanah Air (Gramedia, 1985).

    d. Terjemahan dari Bahasa Sunda
    Mengurbankan Diri (Ngawadalkeun Nyawa karya Moh. Ambri), Memuja Siluman (Munjung karya Moh. Ambri), Jalan ke Surga (Jalan ka Sorga), Dua Orang Dukun (Pustaka Jaya, 1970).

    e. Terjemahan dari Bahasa Jepang
    Penari-Penari Jepang (kumpulan cerita pendek karya Yasunari Kawabata, diterjemahkan bersama Matsuoka Kunio (Jambatan, 1985), Negeri Salju (novel karya Yasunari Kawabata diterjemahkan bersama Matsuoka Kunio (Pustaka Jaya, 1987).

    f. Saduran
    Lutung Kasarung (1958), tahun 1962 diubah judulnya menjadi Purbasari Aju Wangi (Pustaka Jaya, 1962), Tjiung Wanara (Cetakan ke-1 Gunung Agung, 1961; Cetakan ke-2 Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda, 1973, Cetakan ke-3 Gunung Agung, 1968), Mundinglaja di Kusumah (Cerita Pantun Sunda, Tiara, Bandung, 1961), Sangkuriang Kesiangan (Tiara, Bandung, 1961), Tjandra Kirana (drama, Gunung Agung, 1969), Masyitoh (Gunung Agung, 1969), Badak Pamalang (Pustaka Jaya, 1975), Roro Mendut (Gunung Agung, 1977).

    Advertisement

    g. Lain-Lain
    Cerita Pendek Indonesia (Jambatan, 1959), Kesusastraan Sunda Dewasa Ini (antologi bersama Rusman Sutia Sumarga, 1963), Kesusastraan Sunda Dewasa Ini (1966), Ichtisar Sedjarah Satra Indonesia (Bina Tjipta, 1969), Pembinaan Kebudajaan Daerah Sunda (Budaja Djaja, 1970), Jakarta dalam puisi Indonesia (antologi puisi, 1972), My Experience in Recording Pantun Sunda (prasaran dalam Kongres Orientalis di Paris, 1973) dan Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia (1973).

    Serta Puisi Indonesia I (Bandung, Pelajar 1975), Laut Biru Langit Biru (antologi pengarang sastra Indonesia, Pustaka Jaya, 1977), Peranan Seni dan Sastra dalam Pembangunan Bangsa (Budaya Jaya, 1978), Beberapa Masalah Umat Islam di Indonesia (Bandung, Bulan Sabit, 1970), Mengenal Jepang (1981), Undang-Undang Hak Cipta (1982), Ngalanglang Kasusastraan Sunda (Pustaka Jaya, 1983), Pandangan Seorang Awam (1984), Manusia Sunda (Idayu Press, 1984) dan Ngamajukeun Seni Pintonan Sunda (1984).

    Upacara penganuegarahan bintang kehormatan di Istana Negara. (presidenri.go.id)

    Kumpulan puisinya yang berjudul Pesta  memperoleh Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk puisi (1955/1956) dan kumpulan cerpennya yang berjudul Sebuah Rumah buat Hari Tua mendapat hadiah serupa (1957/1958).

    Tepat pada 16 April 2017, di usia 79 tahun Ajip sempat menikahi artis kawakan Nani Wijaya (73 tahun) yang ijab kabulnya digelar di Masjid Kasepuhan Cirebon.

    Namun sayang, pernikahan mereka yang baru berjalan 3 tahun harus dipisahkan karena takdir Tuhan. Ajip Rosidi meninggal di usia 83 tahun, Rabu (29/07/2020) pukul 22.30 WIB saat dalam perawatan pascaoperasi selama seminggu di RSUD Tidar Kota Magelang, Jawa Tengah.

    Almarhum terjatuh dan mengalami pendarahan otak di rumah anaknya di Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.

    Advertisement

    Tak ayal, Presiden Jokowi lalu menganugerahkan tanda kehormatan kepada Ajip Rosidi atas karyanya itu dalam rangka memperingati HUT RI Ke-77, Jumat (12/08).

    Ajip merupakan salah satu dari 127 tokoh yang mendapatkan penganugerahan Bintang Mahaputera Pratama yang upacaranya digelar di Istana Negara, Jakarta.

    Upacara penganugerahan yang diikuti empat penerima dan tiga penerima yang mewakili ratusan penerima lainnya.

    Terdapat penerima dan ahli waris dari penerima yang menerima langsung tanda kehormatan RI dari Presiden sebagaimana Keppres RI No. 64, 65, 66 TK Tahun 2022 tentang Penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Pratama, Bintang Jasa Utama dan Bintang Budaya Parama Dharma, yang dibacakan Sekretaris Militer Presiden Marsma TNI Mohamad Tonny Harjono.

    Selain Ajip, para penerima tanda kehormatan itu diantaranya:

    Advertisement

    Ida Bagus Purwalaksana, Letje TNI Purn. Irjen Kemenhan periode 2019—2022 dinaugerahi Bintang Jasa Utama dan alm. Prof. Mundardjito, arkeolog yang dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma.

    Almh. Carolina Sihombing, dokter spesialis di RSUD Depok dan alm Hadi Sunjaya Ka. Puskesmas Sukatani Dinkes Bekasi. Mereka mewakili 98 penerima lainnya yang dianugerahi Bintang Jasa Pratama..

    Alm Gugum Gumbira, seniman tradisi Sunda, almh. Dewi Wikantini, Bidan Penyelia pada, Puskesmas Bakti Jaya Depok. Mereka mewakili 22 penerima lainnya yang masing-masing dianugerahi Bintang Jasa Nararya. ***

    Continue Reading

    Yang Lagi Trend