Umum
Pencitraan Politik: Trik Menggelitik Pemicu Konflik?
CIAYUMAJAKUNING.ID – Tahun ini bisa disebut tahun politik. Karena pesta rakyat dilaksanakan dua kali di tahun 2024. Rakyat seolah dibuat untuk selalu berpikir akan masa depan negara. Memilih dengan bijak bukanlah hal yang mudah. Belum lagi, suara pemilih pada tahun 2024 sebagian besar berasal dari kaum muda yang tercatat mencapai 60%, tetapi banyak dari mereka enggan untuk terlibat dalam politik karena merasa tidak terlibat dan diabaikan. Pemilihan pemimpin yang baik di masa depan perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.
Sejak tahun 2022, isu pemilu telah menjadi fokus perhatian media online dengan berita yang hampir mencapai satu juta dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Antusiasme media dapat berperan sebagai agen transformasi dan menjadi fondasi demokrasi untuk mendukung perubahan dalam pemilu 2024, terlihat dari pengagendaan isu pemilu yang selalu aktif dalam laporan media. Para calon juga menerapkan berbagai strategi untuk meraih posisi dalam pemilu.
Tak ayal, Para calon, tim pemenangan, dan para pendukung aktif terlibat dalam berbagai kegiatan kampanye yang dikemas untuk menarik perhatian publik dengan tujuan mempengaruhi masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu dalam pemilihan umum, selalu terdapat inovasi-inovasi baru yang mengejutkan rakyat.
Seolah-olah ‘turun dari puncak’, para politisi akan melakukan segala upaya demi meraih kesuksesan. Sebenarnya, tidak ada yang salah dalam membangun citra, tetapi jika dilakukan secara berlebihan, hal ini bisa membawa dampak negatif di mata masyarakat. Meskipun ada banyak aksi kampanye yang justru berujung pada ejekan.
Ketidakcocokan antara gaya politik elit malah menjadi bahan tertawaan, makin menegaskan bahwa tindakan mereka hanyalah sebuah sandiwara belaka.
Pencitraan politik merupakan usaha para politisi atau partai untuk membentuk pandangan masyarakat mengenai mereka melalui media dan strategi komunikasi tertentu.
Dalam bukunya yang berjudul Politik Pencitraan Pencitraan Politik, Prof. Dr. Anwar Arifin menyatakan citra politik berkaitan dengan pengembangan informasi atau pesan-pesan politik oleh para komunikator politik seperti tokoh politik atau kandidat, serta media politik yang meliputi surat kabar, platform media sosial, dan atau media dalam skala kecil, serta audiens atau masyarakat yang menjadi penerima informasi tersebut.
Citra politik yang ada dalam pikiran masyarakat tidak selalu mencerminkan keadaan yang sebenarnya, karena bisa jadi hanya mencerminkan apa yang disuguhkan oleh media atau merupakan realitas yang dibentuk oleh media, yang sering disebut sebagai realitas pihak kedua atau second hand reality.
Benar bahwa apa yang diungkapkan oleh Aristoteles itu tepat. “Secara alami, manusia adalah makhluk sosial.” Manusia sanggup menyampingkan kebutuhan pribadi untuk mendahulukan kepentingan yang lebih besar, yakni negara dan aturan yang berlaku. Hal ini juga menunjukkan bahwa manusia memiliki kewajiban untuk menggunakan akal budi dan etika mereka agar dapat menciptakan masyarakat yang adil, harmonis, dan mendukung kebahagiaan mereka.
Namun, jika seseorang menciptakan citra diri yang sempurna, akan menyebabkan hilangnya kepercayaan dan masyarakat menjadi skeptis. Kunci utamanya terletak pada fungsi media dalam membentuk pandangan masyarakat. Media memainkan peranan yang sangat penting dalam membangun, menyampaikan, dan menyaring citra politik kepada masyarakat.
Di zaman digital saat ini, dengan laju informasi yang sangat cepat, fungsi ini menjadi semakin penting untuk menjaga keterbukaan dan ketepatan dalam penyampaian informasi politik. Media memiliki tanggung jawab untuk mengawasi citra politik yang tidak mencerminkan kenyataan atau yang cenderung manipulatif. Berbeda dengan media di Indonesia.
Media di sana tampak ‘menggoreng’ isu yang melibatkan para calon dan politikus. Banyak media memiliki hubungan politik atau kepentingan bisnis, sehingga seringkali berita yang disampaikan menjadi tidak objektif. Akibatnya, penyebaran informasi terasa tidak tulus dan kurang efektif dalam membangun citra yang positif.
Media memiliki kemampuan untuk menyajikan suatu berita dengan perspektif tertentu guna membentuk pandangan masyarakat. Hal ini sejalan dengan Teori Pembingkaian yang diajukan oleh Erving Goffman, seorang ahli sosiologi yang mengemukakan bahwa media tidak hanya menetapkan isu mana yang dianggap penting, tetapi juga bagaimana cara isu tersebut dipresentasikan.
Ini mencakup pemilihan kata, sudut pandang, serta elemen mana dari cerita yang mendapat penekanan atau diabaikan. Misalnya, sebutan untuk seorang calon bisa menjadi “pemimpin muda yang penuh inovasi” atau “pemimpin yang memiliki pengalaman dan tegas.” Framing yang baik dapat meningkatkan tingkat ketenaran, sementara framing yang buruk bisa merugikan nama baik seorang calon.
Semua telah ter-setting dengan baik karena media memiliki kemampuan untuk memilih topik mana yang dianggap signifikan dan layak untuk diinformasikan kepada masyarakat. Media massa mampu membentuk pandangan publik dengan menetapkan masalah-masalah yang menjadi fokus perhatian mereka.
Penyusunan taktik Agenda Setting ini diterapkan oleh calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo. Berita mengenai pencalonan Ganjar sebagai calon presiden untuk Pemilu 2024 menarik perhatian media internasional, termasuk media Singapura, media Kanada, dan media luar negeri lainnya.
Narasi di media sosial berfokus pada Ganjar Pranowo. Hal ini menunjukkan bahwa taktik PDI-P dianggap efektif karena meningkatnya visibilitas Ganjar sebagai topik diskusi netizen, hasil survei Litbang Kompas juga mencatat sebanyak 347.100 percakapan serta sejumlah 1,3 juta interaksi menggunakan kata kunci “Ganjar.” Sentimen masyarakat online terhadap berita ini umumnya tampak positif, yang berdampak pada peningkatan visibilitas PDI-P dan berpotensi menguntungkan partai merah tersebut.
Ganjar Pranowo menciptakan prestasi politik yang mengesankan selama masa jabatannya sebagai Gubernur Jawa Tengah. Ia terfokus pada pencapaian di bidang infrastruktur, pengembangan ekonomi, dan perbaikan kualitas pendidikan. Penempatan agenda ini menunjukkan catatan prestasinya sebagai bukti bahwa capres nomor 3 mempunyai kemampuan leadership yang handal. Aspek terpenting dalam penempatan agenda adalah menunjukkan Ganjar Pranowo sebagai seorang pemimpin yang berintegritas dan memiliki gaya kepemimpinan yang kuat. Ini menyoroti usahanya dalam memerangi tindakan korupsi, mendukung transparansi, serta mengutamakan kepentingan publik.
Tidak hanya Ganjar yang memanfaatkan media dalam kampanyenya. Di zaman yang didominasi layar ini, platform sosial menjadi sarana krusial untuk membentuk citra secara langsung tanpa melalui media konvensional. Interaksi langsung dengan masyarakat menciptakan kesan yang lebih tulus dan memperkuat hubungan pribadi. Hampir semua politisi memanfaatkan media sosial untuk meraih banyak dukungan suara. Salah satu contoh nyata adalah calon gubernur DKI Jakarta yang membangun citra positif di media sosial, yaitu Ridwan Kamil.
Menurut peneliti politik dari Universitas Padjajaran, Firman Manan, salah satu pendekatan Ridwan Kamil dalam membangun citra adalah dengan menargetkan pemilih milenial di Jakarta yang masih awam di dunia politik. Beliau mengatakan strategi pamungkas RK untuk bisa membangun citra yang tidak serius namun tetap memiliki sisi bijaksana yang bisadisimpulkan oleh pemilih.
Sebab pemilih yang dirujuk bukan golongan pemilih yang sudah paham politik, tetapi pemilih pemula atau generasi muda. Maka dari itu isi serta bahasanya menyesuaikan perkembangan zaman digital.
Pencitraan yang diterapkan oleh Ridwan Kamil adalah memanfaatkan media sosial secara intensif untuk berinteraksi dengan publik, sering kali menciptakan konten kreatif, dan menunjukkan sisi lucunya.
Platform yang dipilih terutama adalah Instagram, Twitter, serta konten visual yang menarik perhatian. Tujuannya adalah untuk membentuk citra sebagai pemimpin yang modern, inovatif, akrab dengan generasi muda, dan terbuka. Unggahan foto dan keterangan yang cukup unik tentang Kota Bandung dan aktivitasnya, menarik beragam tanggapan dari netizen di kolom komentar. Saat ini, akun Instagram resmi RK yaitu @ridwankamil dipenuhi dengan unggahan dan tulisan terkait kampanye dengan pengikut sebanyak 21,7 juta followers.
Ridwan Kamil adalah salah satu calon gubernur yang memiliki tingkat popularitas yang relatif tinggi berdasarkan beberapa hasil survei, sehingga ia menciptakan merek yang menarik dengan membawa ciri khasnya sendiri. Hal ini memungkinkan pesan-pesan yang ingin disampaikannya tersampaikan dengan baik dan mempermudah dia dalam menjalin komunikasi politik dengan warganya.
Kemudian, RK juga menerapkan pendekatan orang biasa untuk meyakinkan warga bahwa proposal yang diajukan memberikan manfaat positif bagi masyarakat, karena ia berada di pihak mereka. Mengingat meningkatnya masalah kesehatan mental di kalangan generasi Z, ini menjadi peluang bagi RK untuk menarik perhatian generasi tersebut dengan meluncurkan inisiatif mobil curhat. RK sempat menjadi topik panas kalangan Masyarakat Jakarta yang menyebut kota mereka dengan julukan “Kota Stres” dan meluncurkan program kerja inovasi bertajuk “Mobil Curhat Keliling.”
Inovasi ini yang dikatakan akan menjadi wadah bagi warga Jakarta untuk menyampaikan keluhan dan harapan langsung kepada pemerintah, menjadi kontroversial. Banyak Masyarakat yang akhirnya bertanya-tanya apakah ini benar-benar sebuah usaha tulus untuk menangani masalah kesehatan mental masyarakat Jakarta, atau hanya langkah pencitraan politik menjelang pemilihan kepala daerah.
Meskipun terdengar positif, beberapa pengamat meragukan program ini, melihatnya sebagai upaya pencitraan dalam rangka mendapatkan dukungan menjelang Pilkada, yang memanfaatkan isu kesehatan mental. Tanpa adanya tindakan lanjutan yang jelas, program ini bisa dianggap tidak lebih dari sekadar simbolis dan tidak memberikan solusi yang hakiki.
Pertanyaan pun muncul sebab masih banyak program unggul lainnya yang seharusnya RK luncurkan di berbagai aspek seain hanya mementingkan perasaan Masyarakat saja.
Pencitraan politik memiliki fungsi yang sangat krusial dalam membangun, mempengaruhi, dan bahkan mengubah cara pandang masyarakat terhadap seorang pemimpin politik. Cara masyarakat memandang seseorang dipengaruhi oleh penyajian tokoh tersebut di media, cara mereka berhubungan dengan publik, serta respon mereka terhadap masalah yang ada. Gambaran yang baik yang diciptakan di satu sisi dapat berdampak pada pandangan masyarakat mengenai sisi lain dari seorang pemimpin politik.
Sehingga efek halo atau halo effect menyebabkan masyarakat lebih menerima kekurangan kecil dari individu tersebut. Faktor seperti kesan awal, hubungan emosional, keberlanjutan citra, serta penggunaan cerita yang kuat sangat berpengaruh dalam menentukan bagaimana masyarakat menilai dan bereaksi terhadap seorang tokoh politik. Namun, publik yang semakin cerdas dan kritis juga mampu membedakan antara citra yang asli dan yang dibuat-buat.
Lebih jauh lagi, pencitraan politik mampu membangun kedekatan dengan masyarakat. Dengan memanfaatkan media sosial dan pemberitaan di media, para politisi dapat berinteraksi langsung dengan rakyat, menampilkan sisi kemanusiaan mereka, dan menciptakan kesan bahwa mereka peka terhadap isu-isu masyarakat.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa citra yang dibangun memperkuat hubungan yang positif antara pejabat publik dan warga. Pencitraan politik yang baik mampu menciptakan keterikatan emosional antara pemimpin dan masyarakat, yang mendukung pembentukan kepercayaan.
Dengan citra yang baik, para politisi dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik, seperti pemilihan atau debat publik. Namun, pencitraan politik juga diyakini dapat memperparah polarisasi politik melalui penekanan yang berlebihan. Media dan tim kampanye sering memanfaatkan penekanan untuk menyajikan lawan politik sebagai “musuh” atau kelompok yang tidak mampu.
Ketika citra mendominasi, perbincangan publik cenderung hanya tertuju pada penampilan fisik seorang politikus, bukan pada kebijakan dan kecakapan mereka. Citra yang baik, jika diterapkan dengan tepat, dapat menjadikan politik lebih terbuka, transparan, dan dekat dengan masyarakat.
Namun, jika citra digunakan secara manipulatif untuk menyembunyikan kekurangan, menyebarkan informasi palsu, atau menciptakan permusuhan, citra tersebut bisa memperburuk perpecahan dan memicu konflik dalam masyarakat.
Oleh: Azifa Putri Ramadhani
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
- Teknologi2 tahun ago
SamFW Tool 4.0 Tool Gratis FRP Samsung Cukup Satu Klik
- legal2 tahun ago
Dimana Ada Proyek Wajib Ada Papan Proyek, Ini Dasar Hukumnya
- Lirik Lagu2 tahun ago
Lirik Lagu Mabok Ngeslot Anik Arnika Bahasa Cirebon Dan Bahasa Indonesia
- Budaya1 minggu ago
Tiga Bangunan Bersejarah di Indramayu Bakal Ditetapkan Obyek Cagar Budaya
- Budaya3 minggu ago
Tradisi Memitu Indramayu Resmi Jadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia
- Umum6 hari ago
Banyak Buruh Pabrik di Majalengka yang Hanya Tempuh Pendidikan Hingga SMP
- Teknologi1 bulan ago
JAMKESAYU, Permudah Kelola Data Penerima Jaminan Kesehatan di Indramayu
- Umum2 minggu ago
BBGP Jabar Gelar Program Kareta Sobat di Gedung Linggarjati Kuningan