Ekbis
SENI MENYELAMATKAN CALEG GAGAL INI : Perjalanan Agus Priyanto Menemukan Harapan Lewat Lukisan
Agus Priyanto awalnya lebih dikenal sebagai pegawai kantoran yang memiliki jiwa sosial tinggi terhadap sekitarnya. Ketika hidup kemudian menghantam nasibnya hingga berkeping-keping, Agus Priyanto tak pernah menyangka ia menemukan dirinya kembali lewat seni.
Bagaimana seni dapat membuatnya bangkit, bahkan menjadi praktisi terapi seni hingga hari ini?
Jatuh Karena Gagal Nyaleg
Agus Priyanto memulai kariernya sebagai pegawai kantoran di sebuah perusahaan swasta. Di luar jam kerja, ia aktif mengajar mengaji untuk anak-anak dan orang dewasa di lingkungan sekitarnya. Keterlibatan sosial ini menumbuhkan kepercayaan dan dukungan dari warga, yang kemudian mendorongnya untuk maju sebagai calon legislatif di tingkat kota.
Atas desakan tersebut, pada tahun 2019 Agus akhirnya mencoba peruntungannya sebagai calon anggota DPRD Kota Surakarta. Ia membawa idealisme dan pengalaman sosial dari aktivitas mengajar mengaji, berharap dapat mengubah lebih banyak hal lewat jalur kebijakan. Tapi harapan itu kandas—ia gagal terpilih.
Rasa malu dan kecewa menjelma menjadi tekanan yang luar biasa. Sebab modal yang kandas, rumah harus dijual, bahkan ia terpaksa menitipkan anak-anaknya ke mertua.
Agus menutup diri dari pergaulan, tak mau bertemu teman, takut dianggap meminta hutang/bantuan sebab kini ia dikenal sebagai “caleg gagal”. Ia bahkan mengalami insomnia berat.
“Saya pikir, kenapa cuma gagal nyaleg bisa sampai stres berat? Tapi ternyata memang bisa, dan saya mengalaminya sendiri,” kisahnya mengenang masa lalu.
Suatu malam, dalam keheningan dan kecamuk batin, Agus mengambil air wudhu, shalat tahajud, lalu melukis secara impulsif. Masih segar di ingatannya, ia hanya mencorat-coret apapun yang sedang ia rasakan dengan cat minyak berwarna hitam.
Satu jam melukis, Agus menyadari satu hal yang lama hilang dari batinnya tiba-tiba muncul begitu saja: ketenangan.
Melukis yang Menyelamatkan
Sejak malam itu, melukis menjadi jalur pulang. Bukan untuk membuat karya indah, tapi untuk mengurai kusut di dalam hati.
Dengan melukis, Agus merasakan dirinya hadir di masa kini. Ia tak lagi dihantui masa lalu atau kecemasan akan masa depan. Melukis menjadi bentuk kehadiran paling utuh.
Agus lebih dalam mempelajari mengenai seni melukis meditatif. Fokus bukan pada hasil, tapi pada proses. Bukan soal indah atau tidak, tapi soal apakah kita mampu mengenali dan menerima apa yang muncul di sana.
Melalui proses inilah, perlahan Agus bangkit. Anak-anaknya tumbuh. Salah satu di antaranya lulus wisuda, dan kepercayaan dirinya ikut tumbuh kembali. Kali ini, ia tidak hanya kembali ke dunia, tapi membawa cara baru untuk menyembuhkan orang lain: seni.
Soul Release Art: Terapi dari Jiwa untuk Jiwa
Pengalaman batin itu ia rumuskan menjadi metode yang kini dikenal sebagai Soul Release Art Therapy. Metode ini menggunakan medium melukis sebagai jalan untuk:
melepaskan emosi terpendam,
menyembuhkan trauma batin,
dan menemukan kembali kedamaian diri.
Dalam praktiknya, terapi seni menjadi ruang ekspresi non-verbal. Khususnya untuk mereka yang sulit atau enggan bercerita. Melalui warna, tekstur, dan bentuk, seseorang dapat mengeluarkan rasa yang selama ini tak bisa dituturkan.
“Kadang, gambar bisa bicara lebih banyak dari seribu kata,” ujar Agus.
Agus mencontohkan bagaimana seni lukis telah menjadi saluran ekspresi jiwa bagi banyak seniman besar. Salah satunya adalah Van Gogh, yang justru menemukan kekuatan melukis saat menjalani rehabilitasi mental di rumah sakit. Atau bagaimana anak-anak lebih mudah menceritakan orang tua yang bercerai/meninggal melalui gambar dan lukisan.
Dari pengalamannya sendiri, Agus menilai bahwa proses melukis mampu memberikan rupa bagi segala beban hatinya, membantunya lebih tenang dan berpikir lebih jernih.
Kini ia tahu: seni bisa menjadi jembatan jiwa.
Membaca Jiwa Lewat Warna
Agus mendalami psikologi di balik tiap coretan dan warna. Ia bisa melihat kemarahan, ketakutan, bahkan kehilangan dalam gambar. Baginya, pensil, kuas, bahkan clay bisa menjadi medium terapi yang efektif menyesuaikan dengan kebutuhan setiap orang :
Pensil: untuk mengurai cerita yang butuh struktur dan kedalaman,
Kuas dan cat: untuk relaksasi dan aliran rasa,
Clay: untuk sentuhan sensori dan pemrosesan emosi lewat sentuhan.
Art therapy bekerja lintas usia: dari balita yang belum lancar bicara, hingga lansia yang menyimpan trauma lama. Karena yang dibutuhkan bukan banyak bicara, tapi kesediaan untuk hadir dan membuka diri, sehalus apa pun.
Bukan Hiburan, Tapi Harapan
Sayangnya, banyak yang masih melihat terapi seni sebagai kegiatan menyenangkan belaka. Padahal, di dalamnya ada proses mendalam: rekonstruksi emosi, penerimaan luka, hingga pemberdayaan diri.
“Banyak trauma yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Lewat seni, kita bisa memilih apa yang ingin kita buka tanpa paksaan, tapi tetap berprogres untuk pulih,” jelas Agus.
Hari ini, Agus masih melukis. Masih mendampingi. Masih membuka ruang bagi siapa pun yang merasa kehilangan harapan. Karena ia tahu, harapan itu bisa dilahirkan ulang dari satu warna, satu goresan, dan satu keberanian untuk mulai membuka diri lagi.
Dan semua itu, dimulai dari malam gelap yang sunyi. Ketika satu kuas menyentuh kertas kosong. Dan jiwa, akhirnya menemukan jalannya pulang.
Artikel ini juga tayang di VRITIMES
- Teknologi2 tahun ago
SamFW Tool 4.0 Tool Gratis FRP Samsung Cukup Satu Klik
- Lirik Lagu2 tahun ago
Lirik Lagu Mabok Ngeslot Anik Arnika Bahasa Cirebon Dan Bahasa Indonesia
- legal2 tahun ago
Dimana Ada Proyek Wajib Ada Papan Proyek, Ini Dasar Hukumnya
- Kuliner5 tahun ago
Menyesap Kopi Lunaira Usung Konsep Bayar Seikhlasnya
- Teknologi2 tahun ago
Download TFT Unlock 2023 V3.1.1.1 Update ByPass FRP Tool dan Unlock iPhone dan iPad
- Umum4 bulan ago
Istimewa, Bupati Terpilih Kuningan Dian Rachmat Yanuar Rayakan HUT ke-57
- Budaya5 bulan ago
Tradisi Memitu Indramayu Resmi Jadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia
- Umum5 bulan ago
BBGP Jabar Gelar Program Kareta Sobat di Gedung Linggarjati Kuningan