CIREBON : Balai Desa Kedungsana pada Minggu (2/2) malam tampak tidak seperti biasanya. Ratusan warga datang untuk menyaksikan pementasan Festival Njujug Tajug yang diselenggarakan oleh Lembaga Seni Budaya Muslin Indonesia (LESBUMI) PCNU Kabupaten Cirebon.
Pementasan festival kesenian ini, memang menyasar tajug, musala atau masjid disejumlah desa di Kabupaten Cirebon. Sejumlah kesenian lokal khas Cirebon seperti gong renteng mendapatkan tempat yang istimewa dalam kegiatan tersebut.
Gong Renteng merupakan salah satu kesenian yang dimiliki oleh Desa Kedungsanga. Gong renteng terdiri dari sejumlah gong fengan ukuran besar dan kecil, dan dimainkan secara bersamaan dengan cara direnteng atau dijajarkan.
Kuwu Desa Kedungsana Sudianto mengatakan, kesenian gong renteng merupakan warisan dari leluhur di desanya sejak tahun 1500 masehi. Gong renteng yang berasal dari daerahnya, disebut Gong Renteng Ki Muntili.
Gong ini menurutnya, bukan hanya sebagai karya seni, tapi juga bisa dijadikan sebagai pemersatu masyarakat.
“Karena akhirnya banyak warga yang saling kenal dan bersilaturahmi, setelah belajar gong ini,” ujar Sudianto.
Pada tahun 2012 saat dirinya baru menjabat sebagai Kuwu Kedungsana, Sudianto mulai mengajak warganya untuk berlatih gong renteng dan mendapat respon positif masyarakat.
Saat ini, terdapat sekitar 50 orang yang bergabung di Sanggar Gong Renteng Ki Muntili yang terdiri dari siswa SD, SMP, SMA dan Karangtaruna.
Sudianto menuturkan, pihaknya juga tidak menarik biaya bagi siapa saja yang ingn bergabung dan berlatih memainkan gong renteng. Setiap minggunya, mereka menggelar tiga kali latihan.
Untuk menjaga kondisi Gong Renteng Ki Muntili yang bersejarah, Sudianto akhirnya membuat replika gong tersebut, untuk dijadikan alat berlatih. Sedangkan, Gong Renteng Ki Muntili asli, disimpan di museum desa yang berada di Kantor Desa Kedungsana daan hanya dikeluarkan ketika acara muludan (maulid nabi).
“Kalau muludan, gongnya dicuci, kemudian dimainkan,” kata Sudianto.
Saat awal melakukan pelatihan, pihaknya harus mengundang pelatih dari Keraton Kasepuhan. Karena saat itu, belum ada yang bisa melatih gong renteng. Namun saat ini, pelatih gong renteng sudah berasal dari warga lokal. Bahkan, pengurus karang taruna yang menjadi pelatih gong renteng ini.
Sedangkan untuk sanggarnya, pihak desa harus merelakan kantornya untuk berbagi ruangan. Sudianto beralasan, keterbatasan lahan, membuat pemdes akhirnya mendirikan sanggar di kantor desa.
Sudianto juga mengungkapan, adanya sanggar gong renteng ini, bisa meminimalisir hal-hal negatif yang kerap dilakukan oleh remaja dan pemuda. Selain itu, karena seringnya berkegiatan bersama di sanggar, silaturahmi antar warga menjadi lebih terjalin dan bersatu.
Untuk saat ini, ada tiga kelompok gong renteng yang masuk dalam naungan sanggar gong renteng Ki Muntili ini, yaitu kelompok tingkat SD, SMP-SMA dan Karangtaruna.
Sementara itu, Sekretaris Lesbumi PCNU Kabupaten Cirebon Agung Firmansyah mengatakan, kegiatan Njujug Tajug memang bertujuan untuk memberikan ruang, kepada seni budaya lokal yang hampir punah.
“Salah satunya adalah gong renteng ini,” kata Agung.
Dalam kegiatan festival seni yang berpusat disejumlah Tajug (masjid/musala) ini, kesenian dan budaya lokal diberikan tempat yang istimewa.
Menurutnya, ruang dalam Njujug Tajug ini, harus dimanfaatkan oleh pelaku seni dan budaua lokal, untuk bisa mengenalkan kepada masyarakat.
“Sehingga masyarakat faham dan turut melestarikan,” katanya.
Agung juga membenarkan, bahwa efek positif dari melestarika seni dan budaya lokal sangat banyak. Salah satunya, yaitu bisa menyatukan warga.
Hal tersebut bisa dilihat, saat pementasan kesenian berlangsung. Menurut Agung, masyarakat dari berbagai golongan bercampur baur tanpa ada batas strata sosial didalamnya. (Rls)