CIAYUMAJAKUNING.ID – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengkonfirmasi jika industri perbankan siap menghadapi berakhirnya kebijakan stimulus restrukturisasi kredit dampak covid-19 menyusul pencabutan status pandemi pada Juni 2023, Minggu (31/03) .
Restrukturisasi kredit yang terbit pada awal 2020 telah banyak di manfaatkan oleh debitur terutama pelaku UMKM.
Stimulus ini merupakan bagian penting (landmark policy) dari kebijakan countercyclical dalam menopang kinerja debitur, perbankan dan ekonomi.
OJK menilai kondisi perbankan saat ini memiliki daya tahan yang kuat (resilient) dalam menghadapi dinamika perekonomian.
Hal ini di dukung oleh tingkat permodalan yang kuat, likuiditas yang memadai dan manajemen risiko yang baik.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan hal itu juga di dukung pemulihan ekonomi dengan terkendalinya inflasi dan investasi.
“Sejak Keppres No. 17 Tahun 2023 pada Juni 2023 terbit yang menyatakan pandemi covid-19 berakhir, aktivitas ekonomi masyarakat kian meningkat,” katanya.
Pada Januari 2024, sektor perbankan menunjukkan dalam kondisi baik yang tercermin dari rasio kecukupan modal (CAR) di level 27,54 persen.
Kondisi likuiditas juga di tunjukkan oleh Liquidity Coverage Ratio (LCR) sebesar 23114 persen dan Alat Likuid/Non Core Deposit (AL/NCD) 123,42 persen.
Ini di harapkan dapat menjadi bantalan mitigasi risiko di tengah kondisi perekonomian global yang tak menentu.
Sementara itu, kualitas kredit tetap terjaga di bawah threshold 5 persen yaitu NPL Gross sebesar 2,35 persen dan NPL Nett 0,79 persen.
POJK Stimulus merupakan kebijakan perintis sektor keuangan sebagai reaksi cepat (quick response) OJK yang bersifat countercyclical.
Kebijakan stimulus OJK di awali dengan terbitnya POJK No. 11/POJK.03/2020 pada Maret 2020 yang bertujuan memberikan ruang kepada debitur.
Kebijakan stimulus lalu di perpanjang hingga 31 Maret 2022 melalui POJK No.48/POJK.03/2020 dengan manajemen risiko yang lebih ketat (stringent).
Ini bertujuan memastikan implementasi kebijakan supaya lebih tepat sasaran dan terhindar dari moral hazard.
Pada 10 September 2021, melalui POJK No. 17/POJK.03/2021, OJK kembali memperpanjang kebijakan stimulus guna menjaga momentum pemulihan ekonomi.
OJK menilai pada November 2022, perekonomian domestik mulai pulih namun masih terdapat beberapa sektor yang masih memerlukan waktu pemulihan.
Oleh karenanya, OJK memperpanjang stimulus lanjutan hingga 31 Maret 2024 yang mendukung segmen, sektor, industri dan daerah tertentu (targeted).
Melalui KDK No.34/KDK.03/2022, kebijakan itu tetap di sertai dorongan kepada perbankan untuk membentuk cadangan (buffer) yang memadai.
Tentu, ini harus di imbangi dengan penerapan aspek manajemen risiko yang lebih ketat (stringent) dan memperhatikan normalisasi kebijakan.
Pemanfaatan stimulus restrukturisasi kredit telah mencapai Rp830,2 triliun yang di berikan kepada 6,68 juta debitur sejak Oktober 2020.
Ini merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Sebanyak 75 persen dari total debitur penerima stimulus adalah segmen UMKM yakni dengan 4,96 juta debitur dengan total outstanding Rp348,8 triliun.
Pada Januari 2024, outstanding kredit restrukturisasi covid-19 menurun signifikan menjadi Rp251,2 triliun yang di berikan kepada 977 ribu debitur.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan denga berakhirnya kebijakan stimulus, OJK telah mempertimbangkan seluruh aspek.
“Yaitu dengan melihat kesiapan industri perbankan, kondisi ekonomi makro dan sektoral dan menjaga kepatuhan,” tuturnya.
Berdasarkan evaluasi, potensi kenaikan risiko kredit (NPL) dan ketahanan perbankan di proyeksikan masih terjaga dengan sangat baik.
Selain itu, perekonomian Indonesia hampir seluruh sektor juga kembali pulih dengan pertumbuhan 5,04 persen pada tahun 2023.
Menurut Ediana, kontribusi ini merupakan kisah keberhasilan (success story) sektor perbankan.
“Untuk memastikan kelancaran normalisasi kebijakan, bank tetap dapat melanjutkan restrukturisasi kredit covid-19 yang sudah berjalan,” ucapnya.
Sedangkan permintaan restrukturisasi kredit baru dapat di lakukan dengan mengacu pada kebijakan normal yang berlaku yaitu POJK No. 40/2019 tentang Kualitas Aset. ***